Oleh: Destiana W Latief.
Nyaman, aman, dan merasa memiliki identitas yang jelas. Ya, itulah
yang kurasakan setiap jilbab ini telah kujulurkan menutup auratku.
Teringat
8 tahun lalu, ketika aku belum mengerti apa itu rasa nyaman, aman, dan
identitas seorang muslimah yang sesungguhnya. Waktu itu, aku bekerja
sebagai seorang staf hotel bintang 5 di kawasan jalan Jogja-Solo. Aku
yang sebelumnya bersekolah di sekolah menengah kejuruan dengan
mengenakan jilbab, dengan ringannya melepas jilbab saat memasuki dunia
kerja, dan aku dapat katakan bahwa aku tak ada beban melepasnya. Aku
hanya mengenakan jilbab ketika berangkat dan pulang kerja, namun ketika
bekerja justru aku melepasnya. Aku masih setengah-setengah dalam
berhijab waktu itu.
Dua tahun berlalu, aku memutuskan untuk melanjutkan sekolahku.
Aku
masuk ke universitas berlatar belakang Muhammadiyah di kota Jogjakarta.
Aku memilih fakultas Psikologi sebagai tempat aku belajar. Di fakultas
tempat aku belajar, ada peraturan ketat tentang tata cara berpakaian.
khusus untuk mahasiswi muslimah wajib mengenakan jilbab. Saat peraturan
itu disampaikan, beberapa mahasiswa masih mendefinisikan jilbab sebagai
kain yang membalut kepala, baju yang membalut tubuh, namun tak
memperhatikan lekuknya masih terlihat jelas, dan aku ada diantara
mereka. Ke kampus, aku mengenakan jilbab (versiku). Namun keluar kampus,
sesampainya di kost, aku melepasnya.. kesana kemari, (maaf) tanpa
jilbab.
Rasa malu menyeruak, rasa rendah diri menerkam
hati begitu kuatnya saat aku harus menuliskan kisahku sampai paragraf
ini. Saat aku mengatakan, bahwa aku, pernah melewati masa dimana aku
melepas jilbab dan aku tak memiliki beban apapun.
Allah Sang Maha Penyayang.. Dia memilih cara yang paling “unik” untuk hambanya kembali ke jalan yang benar dan penuh berkah.
Tiga
bulan menjalani kehidupan kampus dengan kebiasaanku bongkar pasang
jilbab, aku bertemu dengan agenda rutin akademik di 3 bulan pertama tiap
semesternya. UTS (Ujian Tengah Semester). Kami punya gosip bersama
kakak kelas saat ujian menjelang. Gosip itu adalah, ada dosen “kiler”
yang jika ia menjadi pengawas ujian, maka tidak akan diijinkannya masuk
ruang dan mengikuti ujian kecuali mahasiswi yang berpakaian rapih
(menurutnya). Rapih menurut kriterianya waktu itu adalah = memakai rok
panjang dan lebar tanpa memperlihatkan lekuk pinggul dan paha, memakai
baju lengan panjang menutup pinggang dan lebar tanpa memperlihatkan
lekuk perut dan pinggang, dan mengenakan jilbab lebar menutup dada dan
tidak tipis, dan tak ketinggalan, kaus kaki yang menutup kulit kaki.
Mendengar
gosip itu, aku selangkah lebih maju.. ceilee... aku, yang tak punya
koleksi rok satupun, terpaksa membeli kain untuk dibuatkan 1 buah rok
panjang dan lebar (tapi kalau dilihat sekarang gak lebar-lebar banget
tuh) demi menjadi “penyelamat” saat ujian waktu itu.. hehehehe...
Aku
bersama teman-temanku saat itu selalu gambling saat memasuki ruang
ujian.. deg deg-an dan was-was, khawatir dosen itu terjadwal menjaga
ruangan tempat kami ujian. Kalau tempat tinggal atau kost-kostan dekat
dengan kampus sih gak masalah. Kalaupun ternyata di ruang ujian ada
beliau yang menjaga, kita bisa pulang dulu ambil rok dan mengganti cara
berjilbab. Tapi, teman-teman yang rumahnya jauh?.
Tak
sedikit teman-teman yang merasa dirugikan (waktu itu) atas sikap tegas
beliau dosen yang melarang masuk mahasiswi yang tidak berpakaian rapih.
Pun, teman-teman tak mungkin pulang dulu hanya untuk mengganti celana
jeans dengan rok lebar, mengganti jilbab modis nan tipis dengan mencari
pinjaman jilbab lebar nan tebal kesana kemari. Bahkan peraturan tersebut
telah menuai protes dan demo para mahasiswa-mahasiswi di depan kampus..
aih, namun aku tak begitu mempedulikan demo itu, yang aku tahu, aku
harus bisa masuk ruang ujian dengan tanpa tekanan.
Alhasil,
inilah caraku bersama teman-teman waktu itu. Selain buku, dan alat
tulis, didalam tas kami ada barang-barang yang belum pernah kami bawa
sebelumnya ketika ke kampus. Yaitu, rok panjang, dan kemeja panjang nan
lebar. Aku membawanya setiap kali memasuki ruang ujian. Ketika aku
melihat ada dosen tersebut yang menjaga ruangan, aku bergegas berbalik
arah ke toilet dan mengganti celana jeans yang kukenakan dengan rok
lebar baruku satu-satunya. Tak lupa, jilbab tipisku ku ulang lipatannya
dengan lipatan yang lebih lebar, sehingga mampu menutup dadaku meski
jauh dari sempurna. Yup, aku siap memasuki ruangan, mengikuti ujian, dan
tanpa kena “razia’ dosen tersebut.
Inilah rencana Allah
yang paling “unik” yang pernah kualami. Selama 2 pekan masa UTS yang
kujalani, hampir selalu ada dosen tersebut menjadi pengawas ujian di
ruangan ujianku. Ini berarti, setiap itu pula aku harus mengenakan rok
satu-satunya yang kumiliki. Rok merah bermotif garis-garis berbahan
tebal dan jilbab yang ukurannya lebih lebar dari jilbab-jilbab yang
bisanya ku pakai. Aku sampai lupa, apakah rok itu pernah kucuci atau
tidak selama 2 pekan masa ujian.. hehehe. Selepas masa UTS, entah kenapa
aku masih selalu mengenakan rok merah bermotif garis dan jilbab dengan
lipatan lebar. Aku merasa nyaman dengan rok panjang lebar dan jilbab
lebar tersebut termasuk ketika diluar kampus.
Ceritaku tak
berhenti indah sampai disini. Ada seorang kawan sekelas yang awalnya
sangat dekat denganku berkomentar, “Des, kenapa sih kamu jadi berubah
begini? Kamu tuh lebih pantes pake jeans tahu!”. Ya Allah.. sakit sekali
mendengar komentar itu. Aku tak sanggup menjawab apapun, disaat yang
sama pula kawan-kawanku yang sebelumnya dekat menjadi jauh dariku saat
itu. Pun aku tak bisa seketika kembali pada penampilanku sebelumnya,
yaitu blues ketat, jeans ketat, dan jilbab super mini asal nyantol. Ada
perasaan malu pada temanku, ketika aku seketika berubah mengikuti
kemauannya, berarti aku “kalah” dong?. No way!. Aku harus pada
pendirianku. Ada perasaan malu pada diri sendiri, karena perlahan aku
mulai mengerti makna harga diri. Harga diri bukanlah dilihat dari
penampilan yang harus mengumbar aurat kemudian mendapat banyak pengakuan
dari lingkungan, bukan itu. Harga diri adalah ketika kita mampu menjaga
kehormatan dengan tidak mengorbankan identitas kita sebagai muslimah.
Seorang muslimah sudah jelas diterangkan Allah dalam Al-qur’an surat
Al-Ahzab 59, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dan aku merasa
malu padaNya, meskipun aku masih belumsempurna berhijab, namun aku tahu,
Allah sedang membawaku kepada kebaikan. Well, ternyata pribadiku yang
sedikit gengsian berguna juga untuk mempertahankan hijabku..
Ya,
sekali lagi.. nyaman, aman, dan merasa memiliki identitas yang jelas.
Ya, itulah yang kurasakan setiap jilbab ini telah kujulurkan menutup
auratku. Rasa aman (tidak diganggu) dan tentu menjaga kehormatanku. Masa
peralihanku itu terjadi 8 tahun yang lalu, setelahnya aku masih
mengalami tempaan demi tempaan yang tak lain Allah berikan untukku demi
kebaikan dan kekuatanku menjaga keistiqomahan.
Bersama
suamiku kini, aku merasa lebih mengerti arti sebuah kehormatan seorang
muslimah. Ia banyak mengajarkanku tentang kehati-hatian dalam berhijab,
termasuk ketika berada di dalam rumah sekalipun. Nasehatnya, “jangan
lupa tetap pakai rok berdobel celana panjang, tetap pakai jilbab dan
kaos kaki untuk antisipasi jika ada tetangga yang bukan mahram masuk
begitu saja tanpa permisi”.
Berhijab itu sederhana, namun
sangat sempurna menjaga kita sebagai seorang muslimah. Berhijab itu
sederhana, namun Allah turunkan banyak manfaat untuk muslimah yang
mengenakannya.
Semoga Allah buka pintu cahayaNya untuk selalu menerangi keistiqomahan kita. Aamiin.