Minggu, 09 Maret 2014

Aku Dan Jilbabku

 Oleh: Destiana W Latief.
Nyaman, aman, dan merasa memiliki identitas yang jelas. Ya, itulah yang kurasakan setiap jilbab ini telah kujulurkan menutup auratku.

Teringat 8 tahun lalu, ketika aku belum mengerti apa itu rasa nyaman, aman, dan identitas seorang muslimah yang sesungguhnya. Waktu itu, aku bekerja sebagai seorang staf hotel bintang 5 di kawasan jalan Jogja-Solo. Aku yang sebelumnya bersekolah di sekolah menengah kejuruan dengan mengenakan jilbab, dengan ringannya melepas jilbab saat memasuki dunia kerja, dan aku dapat katakan bahwa aku tak ada beban melepasnya. Aku hanya mengenakan jilbab ketika berangkat dan pulang kerja, namun ketika bekerja justru aku melepasnya. Aku masih setengah-setengah dalam berhijab waktu itu.

Dua tahun berlalu, aku memutuskan untuk melanjutkan sekolahku.

Aku masuk ke universitas berlatar belakang Muhammadiyah di kota Jogjakarta. Aku memilih fakultas Psikologi sebagai tempat aku belajar. Di fakultas tempat aku belajar, ada peraturan ketat tentang tata cara berpakaian. khusus untuk mahasiswi muslimah wajib mengenakan jilbab. Saat peraturan itu disampaikan, beberapa mahasiswa masih mendefinisikan jilbab sebagai kain yang membalut kepala, baju yang membalut tubuh, namun tak memperhatikan lekuknya masih terlihat jelas, dan aku ada diantara mereka. Ke kampus, aku mengenakan jilbab (versiku). Namun keluar kampus, sesampainya di kost, aku melepasnya.. kesana kemari, (maaf) tanpa jilbab.

Rasa malu menyeruak, rasa rendah diri menerkam hati begitu kuatnya saat aku harus menuliskan kisahku sampai paragraf ini. Saat aku mengatakan, bahwa aku, pernah melewati masa dimana aku melepas jilbab dan aku tak memiliki beban apapun.

Allah Sang Maha Penyayang.. Dia memilih cara yang paling “unik” untuk  hambanya kembali ke jalan yang benar dan penuh berkah.

Tiga bulan menjalani kehidupan kampus dengan kebiasaanku bongkar pasang jilbab, aku bertemu dengan agenda rutin akademik di 3 bulan pertama tiap semesternya. UTS (Ujian Tengah Semester). Kami punya gosip bersama kakak kelas saat ujian menjelang. Gosip itu adalah, ada dosen “kiler” yang jika ia menjadi pengawas ujian, maka tidak akan diijinkannya masuk ruang dan mengikuti ujian kecuali mahasiswi yang berpakaian rapih (menurutnya). Rapih menurut kriterianya waktu itu adalah = memakai rok panjang dan lebar tanpa memperlihatkan lekuk pinggul dan paha, memakai baju lengan panjang menutup pinggang dan lebar tanpa memperlihatkan lekuk perut dan pinggang, dan mengenakan jilbab lebar menutup dada dan tidak tipis, dan tak ketinggalan, kaus kaki yang menutup kulit kaki.
Mendengar gosip itu, aku selangkah lebih maju.. ceilee... aku, yang tak punya koleksi rok satupun, terpaksa membeli kain untuk dibuatkan 1 buah rok panjang dan lebar (tapi kalau dilihat sekarang gak lebar-lebar banget tuh) demi menjadi “penyelamat” saat ujian waktu itu.. hehehehe...

Aku bersama teman-temanku saat itu selalu gambling saat memasuki ruang ujian.. deg deg-an dan was-was, khawatir dosen itu terjadwal menjaga ruangan tempat kami ujian. Kalau tempat tinggal atau kost-kostan dekat dengan kampus sih gak masalah. Kalaupun ternyata di ruang ujian ada beliau yang menjaga, kita bisa pulang dulu ambil rok dan mengganti cara berjilbab. Tapi, teman-teman yang rumahnya jauh?.

Tak sedikit teman-teman yang merasa dirugikan (waktu itu) atas sikap tegas beliau dosen yang melarang masuk mahasiswi yang tidak berpakaian rapih. Pun, teman-teman tak mungkin pulang dulu hanya untuk mengganti celana jeans dengan rok lebar, mengganti jilbab modis nan tipis dengan mencari pinjaman jilbab lebar nan tebal kesana kemari. Bahkan peraturan tersebut telah menuai protes dan demo para mahasiswa-mahasiswi di depan kampus.. aih, namun aku tak begitu mempedulikan demo itu, yang aku tahu, aku harus bisa masuk ruang ujian dengan tanpa tekanan.

Alhasil, inilah caraku bersama teman-teman waktu itu. Selain buku, dan alat tulis, didalam  tas kami ada barang-barang yang belum pernah kami bawa sebelumnya ketika ke kampus. Yaitu, rok panjang, dan kemeja panjang nan lebar. Aku membawanya setiap kali memasuki ruang ujian. Ketika aku melihat ada dosen tersebut yang menjaga ruangan, aku bergegas berbalik arah ke toilet dan mengganti celana jeans yang kukenakan dengan rok lebar baruku satu-satunya. Tak lupa, jilbab tipisku ku ulang lipatannya dengan lipatan yang lebih lebar, sehingga mampu menutup dadaku meski jauh dari sempurna. Yup, aku siap memasuki ruangan, mengikuti ujian, dan tanpa kena “razia’ dosen tersebut.

Inilah rencana Allah yang paling “unik” yang pernah kualami. Selama 2 pekan masa UTS yang kujalani, hampir selalu ada dosen tersebut menjadi pengawas ujian di ruangan ujianku. Ini berarti, setiap itu pula aku harus mengenakan rok satu-satunya yang kumiliki. Rok merah bermotif garis-garis berbahan tebal dan jilbab yang ukurannya lebih lebar dari jilbab-jilbab yang bisanya ku pakai. Aku sampai lupa, apakah rok itu pernah kucuci atau tidak selama 2 pekan masa ujian.. hehehe. Selepas masa UTS, entah kenapa aku masih selalu mengenakan rok merah bermotif garis dan jilbab dengan lipatan lebar. Aku merasa nyaman dengan rok panjang lebar dan jilbab lebar tersebut termasuk ketika diluar kampus.

Ceritaku tak berhenti indah sampai disini. Ada seorang kawan sekelas yang awalnya sangat dekat denganku berkomentar, “Des, kenapa sih kamu jadi berubah begini? Kamu tuh lebih pantes pake jeans tahu!”. Ya Allah.. sakit sekali mendengar komentar itu. Aku tak sanggup menjawab apapun, disaat yang sama pula kawan-kawanku yang sebelumnya dekat menjadi jauh dariku saat itu. Pun aku tak bisa seketika kembali pada penampilanku sebelumnya, yaitu blues ketat, jeans ketat, dan jilbab super mini asal nyantol. Ada perasaan malu pada temanku, ketika aku seketika berubah mengikuti kemauannya, berarti aku “kalah” dong?. No way!. Aku harus pada pendirianku. Ada perasaan malu pada diri sendiri, karena perlahan aku mulai mengerti makna harga diri. Harga diri bukanlah dilihat dari penampilan yang harus mengumbar aurat kemudian mendapat banyak pengakuan dari lingkungan, bukan itu. Harga diri adalah ketika kita mampu menjaga kehormatan dengan tidak mengorbankan identitas kita sebagai muslimah. Seorang muslimah sudah jelas diterangkan Allah dalam Al-qur’an surat Al-Ahzab 59, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dan aku merasa malu padaNya, meskipun aku masih belumsempurna berhijab, namun aku tahu, Allah sedang membawaku kepada kebaikan. Well, ternyata pribadiku yang sedikit gengsian berguna juga untuk mempertahankan hijabku..

Ya, sekali lagi.. nyaman, aman, dan merasa memiliki identitas yang jelas. Ya, itulah yang kurasakan setiap jilbab ini telah kujulurkan menutup auratku. Rasa aman (tidak diganggu) dan tentu menjaga kehormatanku. Masa peralihanku itu terjadi 8 tahun yang lalu, setelahnya aku masih mengalami tempaan demi tempaan yang tak lain Allah berikan untukku demi kebaikan dan kekuatanku menjaga keistiqomahan.

Bersama suamiku kini, aku merasa lebih mengerti arti sebuah kehormatan seorang muslimah. Ia banyak mengajarkanku tentang kehati-hatian dalam berhijab, termasuk ketika berada di dalam rumah sekalipun. Nasehatnya, “jangan lupa tetap pakai rok berdobel celana panjang, tetap pakai jilbab dan kaos kaki untuk antisipasi jika ada tetangga yang bukan mahram masuk begitu saja tanpa permisi”.

Berhijab itu sederhana, namun sangat sempurna menjaga kita sebagai seorang muslimah. Berhijab itu sederhana, namun Allah turunkan banyak manfaat untuk muslimah yang mengenakannya.

Semoga Allah buka pintu cahayaNya untuk selalu menerangi keistiqomahan kita. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar