Minggu, 09 Maret 2014

Jejak-jejak Cinta

 Oleh: Besse Rosmiati
C I N T A K U
Terimakasihku..
Terimakasih atas segala hari yang KAU ciptakan untukku dan menjadikannya indah disudut hatiku
Terimakasih atas cinta yang KAU anugrahkan pada hatiku
Aku menyadari bahwa aku sangat membutuhkanMU Rabbku.

Aku tahu, saat ini akan tiba dimana aku sebagai seorang gadis akan hidup bersama orang yang kucinta dan mencintaiku karena Allah, tapi ini bukan tentang kisah cinta kami, tapi ini tentang cinta, cinta seorang anak, cinta seorang ibu yang  memantraiku dengan doa-doa nya akhir kisahku berlabuh dipernikahan yang baraokah,mawaddah n warohma.
Aku adalah seorang gadis yang dilahirkan dari keluarga yang sederhana disebuah tempat yang masih termasuk kota kecil yang diapit bukit, ya tempatku dilahirkan adalah perbukitan yang mengalir sungai-sungai yang kadang meluap dikala musim  hujan tiba. Ibuku adalah seorang guru SD yang sangat perkasa untuk kami anak-anaknya, tanpa seorang ayah beliau mampu membiayaiku hingga sarjana di salah satu kota Pelajar dinegeriku, dengan mengandalkan gaji yang pas-pasan aku yakin beliau amat-sangat berhemat untuk menyekolahkanku.
Mendung kelabu, langit tampak gelap dan udara sangatlah dingin dipagi itu, masih tercium diudara bau basah tanah akibat hujan semalaman, pagi itu, aku dan adikku telah bersiap-siap untuk berangkat sekolah, begitupula ibuku beliau telah siap berangkat mengajar dengan baju dinasnya. Tiba-tiba suara teriak memanggil-manggil namaku, ternyata keluargaku datang dari Amessangeng kota dibalik bukit “saat petir bergemuruh, hatiku juga terguncang sangat hebatnya”. Innalillahiwainnailaihi rojiun, ayah mu sakratulmaut, setelah sebulan berbaring….. Air mataku mengucur tak percaya, ingin kusangkali takdir ini. Masih dengan seragam putih abu-abuku, aku berjalan melewati jalan setapak menyusuri bukit, dadaku masih bergemuruh. Kami berangkat menuju kerumah keluarga dibalik bukit, ketempat dimana ayahku dirawat setelah keluar dari rumah sakit.
Aku tak percaya, aku tak percaya. Tadi malam ayah baik-baik saja, walau berat badannya turun menyisakan tulang yang terbalut kulit, tapi tadi malam ayah masih sempat untuk menyuruhku pulang kerumah dan tak perlu menungguinya dirumah keluarga, karena hari ini ada try out ujian akhir SMA. Langkah kakiku kupercepat, aku ingin berada disamping ayah saat ini, aku tak dapat membayangkan ayahku sakratulmaut, kakiku kulangkah terasa ingin terbang, berlari, tak perduli embun yang menyapa dipucuk daun, tak perduli dinginnya angin menusuk kulit, tak perduli indahnya kicauan burung, tak perduli …aku tak perduli, aku ingin ayahku…..
Rumah panggung berwarna biru itu, telah sesak dengan sanak-family ayah, aku menerobos masuk rumah tanpa salam tak perduli siapa mereka, aku ingin ayahku.… aku menangis… ibu menangis… adikku amir menangis….. ibu memelukku kuat ikhlaskan ayahmu nak, aku berada disamping ayah saat ini, kubisikkan kata cintaku untuk ayah, ayah aku disini disamping ayah, ayah aku disini disamping ayah, tak ada gerakan… aku menangis, jilbab putih dan seragamku basah… ayah aku disini aku disamping ayah, dalam dadaku bergemuruh… tanganku berkeringat, aku berkeringat dipagi yang sangat amat dingin itu. Ayah bangunlah… aku disamping ayah. Matanya yang telah lemah itu terbuka , sendu. Ayah kupandangi wajah ayah bibirnya biru, mukanya pucat pualam, tulang tengkoraknya Nampak, uban semakin banyak di rambut dan dikumis tipis ayah.
Kenapa tidak sekolah nak? Ayah… air mataku semakin mengucur diseragam putih abu-abuku, ayah maafku aku, maafkan ros, ayah jangan pergi, ayah… bacakan surat yasin nak, kata ibuku, kubacakan surat yasin disela-isak tangisku… ayah, ibuku mendekat dan membantu melafalkan sahadat “Ashaduallaailaahaillahlah Waashaduannamuhammadarrasulullah”. Anakku ayahmu mau mengatakan sesuatu dengarkanlah… kutahan isak tangisku kudengarkan suara ayah, kudengarkan suara lemah ayah“nak teruskan sekolahmu…” dadaku bergemuruh… air mataku tumpah… akh ayah… aku duduk menegakkan punggungku. Ibuku kembali membantu ayah melafalkan sahadat “innalillahi Wainnailahi rojiun”, kudengar lirih sura ibu.
Aku duduk terdiam, tanpa kata dan air mata yang mengucur, ayah… ayah telah pergi lirih perih suara jeritku dalam hati, orang-orang sibuk, entalah mereka sibuk untuk mempersiapkan pemakaman ayah, sekilas kulihat adikku juga menangis, ibuku juga menangis, semua orang menangis… akh… aku terpekur diam dan melayang dalam duniaku, sepi … disini tak ada orang, dingin, disini hanya aku sendiri dan perasaan hancurku, sesak…
Bahuku digoyang, sejenak aku tersadar dalam realitasku, terlalu banyak orang dirumah ini, aku benci, mengapa mereka semua terasa menyaingi diriku menghirup udara, sesak, perih, sakit dirongga dada ini. Nak saatnya untuk memandikan ayahmu, aku diam, tak ada gerak, tak ada respon, memori otakku lost.
Setelah berwudhu, Ibu menuntunku untuk memandikan ayahku bersama adikku dan paman yang selama ini menjadi  imam desa, aku sempat mencium beliau saat itu kudengar suara paman“tidak boleh menitikkan air mata saat memandikan jenazah”.  Aku tidak tahan terlalu lama memandikan beliau tanpa menangis, maka aku  keluar dari mihrab yang terbuat dari kain itu… aku bersandar… terpekur… kembali pada duniaku, disini sunyi, sepi tak ada orang, disini aku sendiri dengan perasaan yang hancur leburlah seluruhnya, aku melayang, aku terbang, aku masih disini tapi jiwaku melayang , Menahan rasa sakit itu…. Sesak….
Bahuku disentuh… nak lihatlah ayahmu untuk yang terakhir kalinya, beliau akan dikafani, aku diam, tak ada gerak, tak ada respon, memori otakkau lost. Aku dituntun ibu mendekati ayahku, kali ini aku tak menangis, aku tenggelam dalam batinku, aku hilang dalam ragaku, aku melayang bersama jiwaku, aku… diam. Disela isak tangis ibu, ibu menuntuku. Entalah…. Tapi rasanya aku mecium wajah ayah, mencium bau sabun dikulit pucat pualam itu, mearomai kebekuan diinginnya kulit itu, aku sayang pada ayahku, tapi  takdirNYA melebihi dari segala rasaku.
Kutatap wajah itu, dalam, tanpa kedip, mereka membungkus ayahku, aku tak menangis, entalah aku tak tau kemana air mata itu pergi, aku diam, aku bisu, aku melihat, tapi tak merasakan kehadiran orang lain hanya ada aku dan ayahku yang telah terbungkus, hanya ada aku dan ayahku disana… aku diam, aku bisu, aku beku, aku tenggelam dalam duniaku...
***
Hanya ada aku dan ayahku, ayah maafkan aku, hanya itu kata yang terucap padanya…
Hanya ada aku dan kesepianku, ayah aku telah meneruskan sekolahku hingga menjadi sarjana, tapi ayah tak ada disampingku.
Hanya ada aku dan kerinduanku, ayah lihatlah aku telah menjadi yang terbaik untuk ayah, kebanggaan ayah, sungguh aku merindukan ayah.
Hanya ada aku dan cintaku, ayah aku cinta ayah, terimakasih untuk semua cinta itu dan maafkanlah aku, maafkanlah aku, terimakasih untuk memberikanku kesempatan untuk kuliah jauh…., walaupun aku tahu kini ayah jauh dariku, terimakasih ayah…. Aku melanjutkan sekolahku… karena izinmu, ridhomu ayah.
salam kangen untuk semua dosenku, sahabatku, kakakku, saudaraku yang telah menjadi pelangi dalam hidupku, terimakasi atas kasih, cinta dan perhatiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar